Malam itu aku sendirian di rumah. Kawanku satu rumah sedang ke Jakarta, ke tempat teman kerjanya, menginap. Seperti biasa aku pun bermain di depan laptop, facebookan, musikan, dan browsing-browsing. Internet adalah temanku saat aku merasa kesepian.
Jam 9 malam, Hanafi, salah satu kawan baruku di sini datang. Dengan senyum khasnya dia melambaikan tangan padaku, dan aku sapa "Selamat malam Komandan!"
Dia pun duduk di teras. Aku keluar cari kopi. Dua cangkir kopi aku sediakan.
Kami pun ngobrol ngalor-ngidul. Aku merasa nyaman ngobrol sama dia, karena entah faktor kebetulan atau yang jelas duah dipertemukan Tuhan, kami memiliki latar belakang yang hampir sama.
Hanafi anak kedua, dan aku pun anak kedua. Hanafi sejak kecil jadi perantau, berjuang sendiri untuk masa depannya dan adik-adiknya, dan aku pun sama. Hanafi mengalami ditendang istri dan disepelekan mertua, aku pun sama. Hanafi memiliki satu anak dari istri pertamanya, dan aku pun sama.
Bedanya, Hanafi orang Lampung asli, dan aku orang Jawa. Hanafi sudah menikah lagi, dan aku belum. Anaknya Hanafi perempuan dan anakku laki-laki.
Karena kesamaan itulah aku merasa nyaman, selain orangnya memang easy going. Aku merasa ngobrol dengannya waktu sangat tidak terasa. Ada saja cerita yang membuatku tertawa. Namun, poin penting dari seluruh ceritanya adalah aku kagum pada sosoknya. Dia adalah sosok pejuang tangguh.
Di kampuung halamannya, ia sekolah hanya setengah tahun di kelas 1 MI. Dan berhenti. Beberapa tahun kemudian dia di antar orang tuanya ke Serang, Banten, dan masuk kelas 4 MI. Itu karena kecerdasannya yang dianggap mampu tanpa melewati proses pada umumya. Tidak sampai di situ. Saat dia kelas 5 hendak naik kelas 6, gurunya sangat yakin untuk mengikutkan dia ujian nasional. Dan benar, dia lulus dengan nilai cemerlang.
Lulus dari MI, dia melanjutkan ke MTs, di sebuah pondok pesantren di Sadeng, Bogor. Sebagai anak orang dengan perekonomian minim di kampngnya,, ia pun tidak ingin merepotkan orang tuanya. Ia mesantren, tetapi tidak seperti teman-teman yang lain, yang juga dikirim dari berbagai provinsi di seluruh Indonesia, yang rata-rata berasal dari orang berada.
Jangankan untuk jajan, untuk beli buku dan kitab saja dia pun tidak mampu. Ia berjuang untuk survive dengan jadi tukang bersih-bersih kamar guru . Setiap pagi, saat para santri baru bangun untuk shalat subuh, dia sudah sibuk membersihkan kamar mandi. Saat teman-temannya ngaji setelah shalat subuh, dia pun harus merapikan kamar guru. Itu ia lakukan hingga dia lulus Madrasah Aliyah.
Karena kejeniusannya, dan memang tuntutan kebutuhan, semenjak kelas 2 Madrasah Aliyah dia sudah diperbantukan untuk mengajar pelajaran Tajwid di MI. Saat ia ditunjuk sebagai guru tajwid, dia pun bingung.
"Abah, saya tidak punya ilmunya. Bagiamana saya akan mengajar?" tanya Hanafi pada kyai pemimpi pondok pesantren.
Dengan senyuma kyai berkata, "Allah yang akan memberikan ilmunya Fi."
Akhirnya ia pun jalani. Ia menggunakan caranya sendiri, yang penting siswa paham. Dan ternyata cara yang ia gunakan sedikit berbeda dengan para guru ada umumnya, tetapi hasilnya sama.
Beberapa tahun kemudian, saat dia sudah lulus. Ia pun harus terus berjuang untuk adiknya yang mengikuti jejaknya. Ia merasa sangat perih berjuang sedemikian rupa. Sering ia meneteskan air mata manakala melihat teman-temannya tinggal enak dapat kiriman dari rumah, sementara ia benar-benar harus berjuang sendiri.
Karena tidak ingin adiknya mengalami hal serupa, ia pun rela menjadi kuli di sebuah peternakan ayam.
"Kamu pernah mengurusi ayam?" tanya manajer peternakan itu.
"Pernah pak," jawab Hanafi, sambil membatin bahwa dia tidak bohong, yang penting pernah mengurusi ayam walaupun itu ayam kampung yang hanya 3 -4 ekor.
"Mau berapa ekor kamu sanggup?" tanya sang manajer kembali.
"Teman-teman 3000 ekor. Apa bedanya saya dengan mereka pak?" sahut Hanafi.
Dan hari itu ia mulai mengurusi 3000 ekor ayam. Mengurusi semakin banyak ayam, berarti semakin besar pula pendapatan yang akan ia dapatkan.
Hari demi hari ia jalani sebagai pengurus ayam. Siang malam ia bekerja. Pagi menyiapkan pakan dan air minum. Setelah itu ia harus memeriksa apakah ada ayam yang sakit. Jika ada, maka ia pun harus mengobati. Dan dua hari sekali pakan ayam datang,, 2 ton pakan ayam dia turunkan sendiri, untuk ayam-ayamnya. Rasanya menurunkan pakan ayam kok gak pernah berhenti. Baru istirahat sudah datang lagi. Di situ pula ia benar-benar merasakan betapa perjuangan untuk hidup itu tidak mudah. Tetapi setidak mudah apapun, hidup ini harus dilanjutkan. Dan dia tidak akan pulang kampung sebelum berhasil.
Dua bulan di peternakan ayam, ia pun keluar. Setelah hasil sebagian diberikan pada adiknya, Hanafi pindah profesi sebagai penjaga toko di sebuah swalayan, di daerah Sempur, Bogor. Dan aku sendiri pernah belanja di toko ini.
Sebulan di training dengan gaji 250 ribu, ia diangkat menjadi penata makanan, satu level lebih tinggi. Tiga bulan kemudian dia diangat sebagai kasir, dan gajinya pun naik menjadi 350 ribu rupiah. Temannya pun semakin iri. Anak yang baru kok karirnya begitu cepat. Dan dari keirian itu menimbulkan kecemburan sosial.
Empat bulan kemudian dia diangkat sebagai asisten gudang. Di sinilah dia mulai merasakan enaknya. Dia sering dapat jatah "peling" atau bonus saat menurunkan barang. Misal toko pesan mie instan 40 kardus, maka dari perusahaan diberi bonus dua karton mie instan. Dan itu menjadi bagian dari pengelola gudang. Ia tidak lagi kelaparan saat malam. Karena setiap malam dia dapat jatah mie instan 2 bungkus dan telor 1 butir. Ternyata ini semakin menimbulkan keirian teman-teman dan manajernya.
Hingga pada suatu hari dia dijebak oleh komplotan mereka. Hanafi memang tidak memiliki tempat kos. Untuk berhemat Hanafi harus tidur di dalam toko. Di setiap pagi dia harus membersihkan toko sebelum buka. Dari pekerjaan ekstera itu dia mendapatkan tambahan 3000 rupiah per bulan. Hal yang tidak setimpal jika dibandingkan dengan resiko yang ia hadapi, resiko datangnya rampok dan bisa saja dia dibunuh.
Konspirasi datang dari sang manajer toko, pemimpin gudang, rekan kryawannya, dan juga kasir. Uang senilai 6 juta rupiah hilang. Empat orang temannya mengatakan pada Hanafi bahwa ada uang 6 juta rupiah hilang. Dan kepala gudang bilang bagiamana kalau ditanggung bersama. Dan Hanafi pun mengiyakan.
Tetapi sang manajer bersikeras harus dibawa ke jalur hukum. Ia pun dilaporkan ke polisi.
Ke empat orang itu dipanggil polisi untuk penyidikan, dan BAP pun selesai. Kemudian giliran Hanafi. Ia dibentak-bentak di kantor polisi oleh polisi. Karena merasa tidak mengambil ia pun berkata, "Demi Allah pak saya tidak tahu, saya tidak tahu menahu Pak."
Hari itu hari Jumat, karena malamnya habis begadang dia pun tidak tidur. Jam 11.30 polisi muda yang memeriksanya berkata, "Dah kamu pikirkan lagi, ingat-ingat kamu taruh di mana uangnya."
Karena ngantuk, dia duduk di sofa, dan ketiduran.
Jam 1 siang polisi muda itu memukul lengannya dan membentak, "Hei, molor wae sia! Disuruh mengingat-ingat kok tidur. Di mana kamu taruh uangnya, atau mau kamu dipenjara?"
Hanafi langsung terjaga, "Pak, silahkan kalau saya mau dipenjara. Tetapi demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, seumur hidupku saya belum pernah meninggalkan shalat Jumat, dan seumur hidupku orang tuaku tidak pernah mengajariku untuk menjadi maling. Silahkan dpenjara Pak. Tetapi demi Allah saya tidak akan pernah ikhlas atas hukuman yang menimpaku. Jangankan bapak, nyamuk pun yang menyentuhku akan aku lawan Pak!"
Seorang polisi yang sudah cukup tua, lalu menggandeng polisi muda itu keluar. Setelah beberapa lama, polisi tua itu masuk dengan membawa air mineral dan makanan. Hanafi pun tidak mau makan, takut itu sudah diracun.
"Makanlah. Tidak ada dampak apa-apa, kecuali kalau kamu lapar efeknya ya kamu kenyang," kata polisi tua itu.
Dengan lahapnya ia pun makan. Lalu mereka berbincang. Kronologi sebenarnya diceritakan. Dan singkat cerita dia rekasaya itu terbongkar.
Dan dia pun lepas dari jeratan hukum.
Sepulang dari kantor polisi. Dia seperti biasa menjaga toko. Sore itu ada seorang pemuda perlente dengan mobil Mercy C200 Kompressor datang ke toko untuk membeli sandal jepit. Ia minta diambilkan nomor 9. Tidak cocok. Lalu minta lagi nomor 91/2 dan tidak cocok lagi. Lalu minta diambilkan nomor 10, cocok tetapi warnanya tidak cocok. Dan dia pun keluar.
Pada saat keluar Hanafi berujar, "Sok gaya kaya!"
"Apa kamu bilang?" tanya pemuda itu.
"Sok gaya!" sahut Hanafi.
"Hei kamu tahu siapa gua? Gua ini raja. Pembeli adalah raja! Tahu lu?" tanya pemuda itu membentak.
"Raja kalau beli. Kamu tidak beli, berarti bukan raja. Apa bedanya sama gembel?" ejek Hanafi.
"Hei kamu gua bilangin ke pemilik toko baru tahu lu!" gertak si pemuda.
"Oh silahkan. Silahkan suruh datang ke sini," jawab Hanafi.
Pemuda itu pun langsung menyalakan mobilnya. Kencang, ngebut.
Hanafi pun berpikir tidak mungkin dia kembali
Selang 10 menit kemudian dia mendengar mobil datang. Hanafi ingat betul itu suara Mercy milik pemuda tadi. Dia pun bergegas keluar menyambut, khawatir terjadi keributan di dalam, toko akan acak-acakan.
Ternyata pemuda itu membawa dua temannya untuk menghajar Hanafi.
"Tuh dia anak tengil itu!" kata si pemuda itu sambil menunjuk ke Hanafi.
"Lu kira gua takut? Gua jauh-jauh dari Sumatera datang ke Bogor sini tidak takut dasar orang sok kaya. Yang kaya itu orang tuamu, bukan kamu. Jadi jangan sok kaya!"
Hanafi pun mendekat ke pemuda tadi, dan pemuda itu pun mundur.
Bapak tukang nasi di depan toko pun memisahkan. Akirnya si pemuda pergi.
"Dasar kamu Fi, orang Sumatera. Aku panggil Togar saja kamu ya, sorogodok!"
Malam itu adalah malam spesial. Seluruh karyawan toko dan para pelanggan warung makan itu digratiskan.
"Malam ini siapapun makan gratis. Ini dalam rangka syukuran penggantian nama baru, Si Togar dari Lampung. Jangan lagi panggil dia Hanafi, tapi TOGAR!"
Dan nama itu sampai hari ini terkenal. Si TOGAR.
"Itu mas, kenapa orang-orang memanggilku Togar. Itu sejarahnya," menutup ceritanya padaku.
Jam 2 pagi ternyata sudah. Ia pun pamit karena keesokan harinya dia harus ketemu dengan orang kementrian. Si Togar ini sekarang sudah menjadi orang yang cukup sukses, berbahagia dengan istri baru dan anaknya. Ia menjadi seorang konsultan yang sudah biasa keliling Indonesia.
"I am really proud of being your acquaintance, Togar! You do inspire me to do more not to give up no matter what!."
"I am really proud of being your acquaintance, Togar! You do inspire me to do more not to give up no matter what!."
Sometimes life is not fair but negotiable.
0 Response to "Orang Memanggilku Togar"