Kata Obbie Mesakh masa-masa paling indah itu adalah masa-masa di SMA, dan sebagian besar orang pun mengatakan begitu, masa paling indah masa SMA. Karena masa itu masa benar-benar merasakan indahnya jatuh cinta. Kata guru sejarah saya waktu SMP dulu pernah berkata, "Kalian masih pakai celana pendek, gak boleh pacaran!" Oh berarti kalau sudah pakai celana abu-abu boleh dong ya? Entahlah tapi pas SMA aku tidak pacaran, karena aku nembak satu cewek berkali-kali ditolak terus.
Bagiku masa SMA itu bukan masa paling indah, itu masa paling suram. Itu bagiku ya. Kok masa paling suram? Iya karena waktu SMA aku tinggal di Pondok Pesantren, yang aturannya sangat ketat.
Bayangkan jam 3 pagi sudah harus mulai bangun untuk menunaikan shalat tahajud. Kalau tidak bangun diguyur sama lurah pondoknya. Lurah pondok sebetulnya teman kami juga. Dia juga sekolah, tetapi tidak tahu memang disetting sedemikian rupa sehingga kami pun takut. Dan lagi ada lagi satu ustadz saya yang galak, jam 3 pagi pasti langsung kontrol ke kamar-kamar sambil bilang, "kum... kum... kum..." sambil membawa ember untuk mengguyur para santri yang susah dibangunkan, dan aku termasuk langganan diguyur.
Setelah shalat subuh, kami harus mengaji sampai jam 5.30. Setelah itu senam militer di lapangan. Kebetulan ada salah satu alumni pesantrenku yang jadi tentara Setengah jam senam militer, lalu persiapan berangkat sekolah. Mandi, kemudian makan bersama. Makan bersama dengan menggunakan tampah plastik. Satu tampah berempat. Siapapun yang baru pertama kali masuk pasti gak doyan makan. Tetapi kalau gak mau makan ya pasti kelaparan. Bayangkan nasi ditumpuk di tengah, lalu sayur dan lauknya di taruh di empat sudut berbeda. Makan menggunakan tangan. Yang sering sayurnya berkuah, jadi seperti rebutan. Tangan-tangan para santri begitu lincah mengambil makan. Aku yang makannya lambat sering merasa lapar, karena kebagians sedikit.
Sekolah berlangsung sampai jam 12 siang. Pulang sekolah kami harus shalat berjamaah baru makan siang. Selesai makan siang kami harus mengaji lagi sampai asyar. Kemudian kami mempunyai tugas masing-masing: ada yang ke kebun, ke sawah, dan masak.
Pada satu hari aku dan beberapa temanku mendapat jatah untuk masak. Aku paling senang kalau ditugasi masak nasi. Pakai dandang besar, masak untuk 50 santri. Sekali masak 16 liter.
Kawanku, Darman, saat itu bertugas memasak sayur. Seperti biasa kami membuat kreasi sendiri agar masakan enak, karena memang dilarang menggunakan penyedap rasa, katanya pimpinan pesantren penyedap rasa tidak bagus untuk kesehatan. Tetapi Darman mencoba dengan caranya sendiri agar masakan enak. Ia membeli penyedap rasa. Dia juga membeli biang gula, atau saya bilang sari manis. Sarimanis ini akan ia gunakan untuk membuat kolak singkong, singkong yang diambil dari kebun.
Karena masak sambil ngobrol, dan saat Darman tida sadar sambil memasak sayur, ia memasukkan sarimanis sebagai penyedap rasanya. Satu wajan penuh sayur kangkung dengan air melimpah, ia bolak-balik. Dan sayur pun matang.
Betapa terkejutnya kami saat mencicipi sayurnya. Manis luar biasa. Persis seperti kolak kangkung. Kami pun tertawa terbahak-bahak. Tetapi tetap saja dihidangkan, karena memang tidak ada pilihan lain, jatah untuk masak hari itu sudah habis, bumbu-bumbu tidak lagi diberikan.
Pas waktunya makan sore, di ruang makan kami pun gempar, ramai. "Oi Man, ini sayur kolak?" teriak Kholil.
Ingin coba? Sensasinya luar biasa lho. Kolak kangkung.
0 Response to "Kolak Pisang Itu Biasa, Kolak Kangkung Baru Luar Biasa!"